Konservasi Tanaman Langka Famili Dipterocarpaceae di Indonesia

Konservasi Tanaman Langka Famili Dipterocarpaceae di Indonesia
Oleh :Aswarina Nasution
diriview oleh Syahnada Jaya Sy
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 pulau, dengan luas daratan 1,9 juta km dan garis pantai sepanjang 80.791 km, serta luas lautan 3,1 juta km. Indonesia diperkirakan memiliki tidak kurang dari 47 tipe ekosistem alami. Luas daratan Indonesia yang hanya 1,32% luas seluruh daratan di bumi, ternyata menjadi habitat 10% jenis tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga yang ada di dunia. Dari 515 jenis mamalia besar dunia, 36% endemik di Indonesia, dari 33 jenis primata, 18% endemik, dari 78 jenis burung paruh bengkok, 40% endemik, dan dari 121 jenis kupu-kupu dunia, 44% endemik di Indonesia (Mc Neely et al.,1990) dalam Astirin (2000).
Dalam hal keanekaragaman spesies tanaman, Indonesia pun menjadi unggulan dunia dan dianggap sebagai salah satu pusat keanekaragaman tanaman ekonomi dunia. Salah satunya adalah keanekaragaman jenis-jenis kayu perdagangan yang tergolong family Dipterocarpaceae (Mac Kinnon, 1992) dalam Astirin (2000).
Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1991) menuliskan bahwa hutan tropika Indonesia merupakan sumber terbesar keanekaragaman jenis-jenis palem, mengandung lebih dari 400 species meranti-merantian dari Famili Dipterocarpaceae (yang merupakan jenis kayu pertukangan paling komersil di Asia Tenggara).
Namun demikian, Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat kerusakan lingkungan yang tinggi menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan ini disebabkan oleh proses pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan sehingga terjadi perubahan fungsi areal hutan, sawah dan kebun menjadi pemukiman, industri dan perkebunan. Keadaan demikian menyebabkan menyusutnya keanekaragaman hayati tingkat jenis. Pembangunan yang berjalan cepat, secara bersamaan menyebabkan terjadi penurunan populasi makhluk hidup terutama jenis tumbuhan. Oleh karena itu, Indonesia merupakan salah satu wilayah prioritas konservasi keanekaragaman hayati dunia.
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah menetapkan spesies tanaman prioritas konservasi dalam Workshop Penetapan Spesies Prioritas Konservasi yang digelar di Kebun Raya Bogor Senin, 27 September 2010 yaitu spesies-speseis dari Family Dipterocarpaceae (meranti-merantian) dan Thymelaeaceae (gaharu-gaharuan). Pohon Tengkawang salah satu anggota famili Dipterocarpaceae menjadi prioritas konservasi. (Kompas.com)
Dipterocarpaceae_Shorea_gratissima; Sumber: Singapore Botanical Garden
Dipterocarpaceae merupakan sekelompok tumbuhan pantropis yang anggota-anggotanya banyak dimanfaatkan dalam bidang perkayuan. Suku ini habitusnya berupa pohon, yang biasanya sangat besar, dengan ketinggian dapat mencapai 70-85m. Pusat keragaman family ini salah satunya berada di hutan Kalimantan. Namun, karena banyak dieksploitasi beberapa spesies family  ini telah masuk dalam Red List IUCN (International Union for the Conservation of Nature ) dengan status CR (Critically Endangered) dan EN (Endangered). Beberapa spesies diantaranya Keruing (Dipterocarpus elongatus Korth., CR), Mersawa (D. crinitus), Kapur (Dryobalanops oblongifolia Dyer, EN), Bangkirai (Shorea laevis Ridd., LR), Meranti Putih/ Melapi (S. virescens Parijs), Meranti Kuning (S. macroptera Dyer, CR), Meranti Merah (S. parvifolia Dyer, EN), Tengkawang (S. pinanga Scheff.), Meranti Batu (Hopea mengarawan Miq., CR)
kebun-raya-bogor1
Kebun Raya Bogor, Salah satu contoh konservasi Ex situ
Konservasi Dipterocarpaceae
  1. Konservasi Tingkat Genetik
Dalam satu spesies tumbuhan atau hewan terdapat variasi genetik, sehingga menimbulkan perbedaan yang jelas. Pembentukan genetik suatu individu selalu berubah akibat faktor internal dan eksternal. Keragaman materi genetik memungkinkan terjadi seleksi alam. Semakin besar populasi suatu spesies semakin besar keanekaragaman genetiknya, sehingga makin kecil kemungkinannya punah. Konservasi tingkat genetik dilakukan dengan pelestarian plasma nutfah famili Dipterocarpaceae.
  1. Konservasi Tingkat Spesies
Fokus konservasi tingkat spesies dilakukan pada tingkat populasi. Populasi suatu spesies dapat lestari sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Kunci menyelamatkan spesies adalah dengan melindungi populasi yang ada. Diantaranya dengan menyediakan areal hutan alami untuk kawasan pelestarian. Kawasan tersebut diharapkan dapat dipertahankan secara in situ (habitat asli). Namun, pelestarian in situ perlu dilengkapi dengan pelestarian secara ex situ seperti kebun raya, kebun binatang, kebun koleksi dan sebagainya yang telah berkembang sejak lama di Indonesia. Akan tetapi, lahan tempat pelestarian ex situ sering tergusur. Oleh karenanya, pelestarian ex situ perlu ditingkatkan.
C. Konservasi Tingkat Ekosistem
Dunia yang beraneka ragam ini dapat dikelompokkan menjadi berbagai tipe ekosistem. Mulai dari puncak pegunungan hingga dasar lautan, dari kutub hingga daerah tropis. Ekosistem yang paling kaya keragaman hayatinya adalah hutan hujan tropis. Walau hutan hujan tropis hanya meliputi 7% permukaan bumi, namun daerah ini mengandung paling sedikit 50% hingga 90% dari semua spesies tumbuhan dan satwa. Keanekaragaman Dipterocarpaceae yang sebagian besar berada di ekosistem hutan hujan tropis dilakukan dengan melakukan tebang pilih (menebang pohon yang masih muda) serta melakukan reboisasi karena untuk menumbuhkan spesies dalam famili ini menjadi pohon yang besar dan bermanfaat biasanya memerlukan waktu yang relatif lama.
Berbagai pihak berperan dalam konservasi family Dipterocarpaceae ini. Pemerintah berkewajiban mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati serta melaksanakan bagian yang menjadi kepentingan nasional/umum. Pihak swasta berkewajiban untuk memelihara setelah memanfaatkannya. Ilmuwan dan akademisi berperan untuk mengungkapkan keanekaragaman hayati yang akan menjadi dasar pemanfaatan dan pelestariannya, mengingat pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan memerlukan data dasar yang dapat dipercaya kebenarannya. Lembaga Swadaya Masyarakat dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengoreksi kebijakan konservasi serta memantau aktivitas pihak swasta dalam mengeksplotasi hutan. Masyarakat perlu menyadari kewajiban untuk ikut melestarikan hutan. Kearifan lokal seperti lubuk larangan (larangan memasuki hutan yang belum terjamah manusia) di Taman Nasonal Batang Gadis, Sumatera Utara misalnya perlu direkam dan dikembangkan sehingga tidak hilang tertelan zaman.
REFERENSI 
Astirin, O. 2000. Permasalahan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Problems of Biodiversity Management in Indonesi. Biodiversitas. Volume 1, Nomor 1. Halaman : 36-40
Suhartini. 2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Pembangunan Yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.

0 comments: