LEBIH DEKAT DENGAN EKOSISTEM DI INDONESIA Bagian III.

2.2. Vegetasi pegunungan
Vegetasi pegunungan sangat beragam, dan diklasifikasikan menjadi hutan pegunungan, padang rumput, vegetasi terbuka pada lereng batu, vegetasi rawa gambut dan danau, serta vegetasi alpin.
Hutan pegunungan bawah
Hutan ini terletak pada ketinggian 1000-2500 mdpl dan berbeda dari hutan dibawahnya. Tinggi pohon semakin rendah dan diameternya semakin kecil dengan semakin tingginya ketinggian pegunungan. Pada punggung dan lereng gunung, pohon-pohon biasanya pendek dan sering berupa semak. Pada ketinggian 1500 mdpl banyak tumbuh berbagai jenis lumut, anggrek, dan pakis epifit. Pada hutan ini, jenis-jenis dari suku Lauraceae dan Fagaceae yang umum terdapat di kawasan  beriklim sedang dapat dijumpai dalam jumlah besar. Suku-suku tumbuhan yang mendominasi hutan dataran rendah tidak lagi dominan di hutan ini.
Hutan pegunungan atas
Hutan ini terdapat pada ketinggian 2.500-3.300 mdpl, dan tergantung pada letak gunung. Hutan lebat dengan tinggi pohon sampai 25 m ini mempunyai jumlah jenis lebih sedikit daripada hutan pegunungan bawah.
Hutan Nothofagus
Tipe hutan yang hanya terdapat di Papua ini merupakan varian hutan pegunungan atas. Tetapi karena Nothofagus pullei secara lokal dapat menjadi dominan, hutan ini dianggap sebagai tipe vegetasi tersendiri.
Hutan Subalpin bawah
Tipe hutan yang terdapat pada ketinggian 2.400-3.800 ini sebenarnya merupakan hutan daerah iklim sedang dan hanya terdiri atas satu lapis pohon-pohon kecil dan pendek saja tanpa pohon-pohon yang mencuat tinggi. Jumlah jenisnya lebih sedikit dibadungkan hutan pegunungan bawah dan didominasi oleh suku Ericaceae sehingga sering pula disebut semak Ericaceae. Bergantung pada lereng dan arah menghadap, lumut dan lumut kerak tumbuh melimpah pada permukaan tanah, karenanya sering pula hutan ini disebut “hutan lumut”. Lumut memang menjadi ciri khas hutan ini karena dapat membentuk lapisan tebal dan lebat pada cabang-cabang pohon maupun tanah.
Hutan Subalpin atas
Hutan ini terdapat di Papua pada ketinggian sekitar 3.800-4.100 mdpl. Komposisi jenis pohon dalam tipe hutan ini hampir serupa dengan hutan subalpin bawah, tetapi pohon-pohon lebih pendek (<10 m). Tajuk membentuk kanopi hutan lebat dan tebal tetapi tidak berkesinambungan karena terdapat tempat-tempat yang terbuka dan berbatu atau ditumbuhi rumput-rumputan. Batas elevasi untuk pertumbuhan pohon ini disebut batas pohon (timber line) dan di Indonesia hanya terdapat di pegunungan tinggi di Papua.
Padang rumput-semak Tepi Hutan
Tipe komunitas ini terdapat di Papua pada ketinggian 3.300-3.800 mdpl seperti pada lereng batu kapur dengan tanah yang dangkal di dataran tinggi Kemabu. Tipe komunitas terdiri atas rumpun-rumpun rumput dan semak-semak dan adakalanya terdapat batu-batu kapur terbuka.
Padang rumput dengan Paku Pohon
Tipe komunitas ini terdapat pada tanah yang berdrainase baik pada ketinggian sekitar 3.200-3.700 mdpl di Papua, terutama di Dataran Tinggi Kemabu. Dan di sekitar Rawa Carstenz. Dalam tipe ini paku pohon membentuk rumpun pada matriks rerumputan yang merumpun pula.
Padang rumput merumpun
Padang rumput ini terdapat pada lereng yang basah pada ketinggian 3.300-4.100 mdpl di seluruh pegunungan di Papua dan Papua Nugini. Padang rumput ini hampir tidak berperdu dan seluruhnya berupa hamparan rumput merumpun Danthonia klossii dengan tinggi sekitar satu meter, sehingga hampir tidak memungkinkan jenis lain untuk tumbuh kecuali beberapa terna dan lumut yang tumbuh pada dasar rumpun rumput. Kadang-kadang perdu Corprosma brassii dan Styphelia suaveolens terdapat di sini tetapi tumbuhnya kerdil.
Vegetasi Lumut Kerak
Komunitas ini terdapat pada ketinggian sekitar 3.800 mdpl. Komunitas lumut didominasi oleh Stereocaulon pseudomassartianum berkembang pada permukaan batu kerikil yang tidak bertanah dan batu-batu besar. Disini hampir tidak ada tumbuhan lain kecuali lumut yang kadang tumbuh pada batu-batu besar.
Vegetasi pada tebing batu
Tipe vegetasi ini terdapat pada bukit-bukit batu kapur terjal dan di tempat-tempat yang sebagian terlindung dari hujan dan bertanah lembab karena air bergamping di sekitar Rawa Carstenz. Vegetasinya terdiri dari rumpun-rumpun rumput serta paku dan terna tertentu.
Vegetasi Rawa Subalpin
Vegetasi rawa ini banyak terdapat di pegunungan tinggi dengan ketinggian lebih dari 3.000 m dpl, terutama di Papua. Di Pulau Jawa, vegetasi ini dapat di jumpai di Gunung Gede, Gunung Dieng dan Gunung Patuha.
Vegetasi Perdu Rawa Gambut
Tipe vegetasi ini menutupi area yang luas dengan habitat basah atau terendam air pada ketinggian sekitar  3.400-4.100, di Papua, seperti di pantai barat Danau Larson di sekitar Puncak Jaya. Tipe ini disebut juga komunitas rawa bantalan keras.
Padang Rumput Rawa Gambut
Di Papua, padang rumput ini menutupi daerah datar bertanah gambut yang luas pada ketinggian 3.300-4.000 mdpl. Di Jawa tipe vegetasi ini terdapat pada ketinggian 2.000-3.500.
Vegetasi Danau
Danau banyak terdapat pada pegunungan tinggi dan umumnya adalah danau eutrofik. Berbagai tingkat perkembangan (suksesi) vegetasi dapat ditemukan disini dari danau yang terdiri dari perairan terbuka sampai danau yang hampir tertutup penuh oleh tumbuhan, seperti danau-danau di Pegunungan Dieng.
Padang Rumput Alpin Pendek
Padang rumput alpin pendek terdapat pada puncak terbuka bukit-bukit granit pada ketinggian 4.100-4.200 mdpl, misalnya di daerah Grasberg (Papua) tetapi tidak terdapat pada substrat batu kapur. Di sini tumbuh tersebar rumput-rumput yang merumpun, sedangkan permukaan tanah tertutup lumut dan lumut kerak.
Padang Rumput Alpin merumpun
Deschampsia Klossii membentuk padang rumput merumpun yang lebat dan padat pada tanah yang dalam dan berdrainase baik pada ketinggian 4.000-4.500 mdpl di Gunung Jaya Wijaya. Komunitas ini dibedakan dari padang rumput merumpun subalpin dari pertumbuhannya yang pendek (40 cm) dan tidak adanya perdu-perdu tinggi.
Komunitas Kerangas Tetramolopium-Rhacomitrium
Komunitas Kerangas Tetramolopium klossii menempati daerah yang terbebas dari salju selama lebih dari 30 tahun, yang hanya terdapat di Gunung Jaya Wijaya, seperti membentang di Lembah Meren pada ketinggian 3.950-4.200 mdpl. Daerah ini berupa morain (onggokan batu, kerikil, pasir dan bahan lainnya) yang menjadi terbuka setelah salju mundur selama 120 tahun terakhir. Perdu rendah T. klossii tumbuh terpencar dan berakar diantara lapisan lumut Rhacomitrium crispulum dan lain-lain. Tempat terbuka berkisar dari 30% sampai 70% pada komunitas muda dan 10% sampai 30% pada yang tua.
Komunitas Kerangas Perdu Kerdil
Komunitas ini menempati punggung bukit dan lereng diantara batu-batu kapur dan bukit terjal dengan tanah yang dangkal di atas ketinggian 4.200 mdpl yang terletak  di luar daerah yang terpengaruh majunya salju, seperti diantara Lembah Kuning dan Lembah Meren di Papua. Komunitas ini terdiri dari atas hamparan perdu dengan tebal sampai 20 cm.
Tundra Alpin Kering
Komunitas ini berkembang pada morain yang baru setelah salju mundur pada ketinggian 4.230-4.600 mdpl di Papua. Vegetasi ini merupakan komunitas yang sedang berkembang menuju komunitas kerangas Tetramolopium klossii.
Tundra Alpin Basah
Terdapat di belakang morain batu kapur dengan drainase yang sangat baik pada lahan datar di Lembah Kuning dengan ketinggian 4.250 mdpl, berupa hamparan lumut, terutama Breutelia aristifolia, yang menerus dan menunjang pertumbuhan jenis-jenis terna.
2.3. Vegetasi Monsun
Vegetasi Monsun terdapat di daerah yang beriklim kering musiman, evapotranspirasi melebihi curah hujan yang umumnya kurang dari 1500 mm/tahun. Jumlah hari hujan selama empat bulan terkering berturut-turut kurang dari 20 hari. Musim kemarau pendek sampai kemarau panjang terjadi pada pertengahan tahun.
Hutan Monsun
Hutan Monsun terdapat pada ketinggian 0-800 mdpl di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua bagian tenggara. Menurut strukturnya hutan monsun hanya mempunyai satu lapisan tajuk pohon dengan tinggi jarang lebih dari 25 m. Pohon mencuat jarang sekali. Pohon bercabang rendah, batangnya jarang lurus. Jumlah jenis sedikit dan masing-masing cenderung untuk jadi dominan lokal.

Savana
Tipe vegetasi ini berkisar dari padang rumput dengan pohon-pohon yang terpencar jarang sampai dengan padang rumput yang berpohon lebat dan merupakan klimaks api. Savana terdapat terutama di Jawa Timur, Bali Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua bagian Tenggara. 40% wilayah Taman Nasional Baluran, Jawa Timur diisi oleh padang savana luas, dengan jenis tanah aluvial dan vulkanik. Beragam jenis satwa pemakan rumput hidup di sini, seperti kerbau, kijang, dan rusa.
Padang rumput
Padang rumput mencakup kawasan cukup luas di daerah kering baik berupa mosaik maupun bentangan luas. Sering bersinambung dengan savana. Curah hujan yang sangat rendah mengakibatkan tumbuhan kesulitan untuk mendapatkan air, sehingga tumbuhan yang bertahan hidup hanya jenis rumput-rumputan, karena jenis tanaman ini dapat hidup dan beradaptasi dalam keadaan tanah kering. Berbeda dengan savana, pada padang rumput tidak terdapat jenis pohon, selain jenis rumput kadang ada terna dan perdu kecil. Padang rumput di Indonesia banyak terdapat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
3. KELOMPOK EKOSISTEM SUKSESI
Ekosistem suksesi adalah ekosistem yang berkembang setelah terjadi perusakan terhadap ekosistem alami yang terjadi karena peristiwa alami maupun karena kegiatan manusia atau bila ekosistem buatan tidak dirawat lagi dan dibiarkan berkembang sendiri menurut kondisi alam setempat.
3.1. Ekosistem Suksesi Primer
Tipe ekosistem ini berkembang pada subsrat baru seperti permukaan tanah terbuka yang ditinggalkan tanah longsor atau pemapasan tanah untuk penambangan dan pembuatan jalan, timbunan abu atau lahar yang dimuntahkan letusan gunung berapi, timbunan tanah bekas galian, endapan pasir pantai, dan endapan lumpur di tepi danau dan muara atau tepu sungai. Berbagai tipe ekosistem dengan unsur yang berbeda yang terdapat dari pantai sampai ke puncak gunung di kelompok pulau Krakatau adalah contoh ekosistem suksesi primer.
3.1. Ekosistem Suksesi sekunder
Tipe ekosistem ini berkembang setelah ekosistem alami rusak total tetapi tidak terbentuk substrat baru yang diakibatkan khususnya oleh kegiatan manusia, seperti penebangan habis hutan dan pembakaran. Ekosistem ini dapat pula berkembang dari ekosistem buatan yang ditinggalkan, kemudian berkembang secara alami, seperti terjadi dalam praktek perladangan berpindah atau berotasi yang meninggalkan lahan garapan untuk diberakan setelah dua atau tiga kali panen. Setiap ekosistem alami tersebut di atas akan membentuk ekosistem sekunder sendiri yang komposisi jenisnya pun akan beraneka ragam tergantung pada kondisi lingkungan setempat dan tersedianya sumber bibit. Sebagai misal dapat diambil hutan primer dataran rendah yang bila ditebang habis dan dibakar untuk ladang kemudian ditanami beberapa kali dan ditinggalkan maka akan terbentuk ekosistem yang komponen tumbuhannya didominasi rerumputan dan terna dan setelah beberapa waktu berkembang menjadi belukar yang didominasi oleh pohon-pohon cepat tumbuh seperti jenis-jenis Macaranga, Callicarpa, Vernonia, Duabanga, dan Cratoxylum.
Bila pembakaran terjadi berulang-ulang dan tenggang waktu antar pembakaran pendek sekali maka ekosistem suksesi yang terbentuk adalah ekosistem padang alang-alang yang akan tetap bertahan bila pembakaran terus berulang, tetapi akan berkembang menjadi belukar bila pembakaran tidak terjadi lagi. Ekosistem suksesi ini akan sangat beraneka ragam karena kehadirannya bukan saja bergantung kepada keanekaragaman ekosistem asal, sumber bibit dan faktor lingkungan, tetapi juga bergantung pada skala waktu.
4. KELOMPOK EKOSISTEM BUATAN
4.1. Danau buatan (bendungan)
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, banyak bendungan baru didirikan dan membentuk eksistem baru dengan substrat dasar yang umumnya berasal dari lahan pertanian dengan sifat geologi dan tanah yang berbeda-beda. Komunitas biotik yang terbentuk pada umumnya masih dalam fase suksesi dengan umur yang berbeda. Sering pula komponen hewan, khususnya ikan budidaya, banyak yang diintroduksikan. Tidak jarang di tepi danau berkembang komunitas tumbuhan suksesi seperti yang diuraikan dalam vegetasi danau alami di atas, atau tumbuhan pendatang yang menjadi dominan seperti eceng gondok dan kiambang yang sering pula menutupi sebagian permukaan danau.
4.2. Hutan Tanaman
Hutan tanaman banyak terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Jenis pohon yang banyak ditanam adalah pohon Jati (daerah kering), pinus (daerah kering dan basah), mahoni (lahan dataran rendah basah), Puspa, Rasamala, Manglid, Ampupu, Damar (di daerah pegunungan).
4.3. Agroekosistem
Keanekaragaman agroekosistem berkaitan erat dengan faktor iklim, tanah, topografi dan budaya. Berbagai tipe agroekosistem yang dapat dikenal di Indonesia adala sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah rawa, sawah pasang surut, kolam ikan, tambak, perkebunan, ladang berpindah.
Referensi
Arif A, 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius.
Sastrapradja DS, Adisoemarto S, Kartawinata K, Sastrapradja S, Rifai MA. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi – LIPI.
Noor YR, Khazali M, dan Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Lubis IR, Suryadiputra INN. Upaya Pengelolaan Terpadu Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Wilayah Berbak-Sembilang. http://www.fire.uni-freiburg.de/GlobalNetworks/ PeatlandFireNetwork/Sumatera-peatland -fire-proc-Part-4.pdf

0 comments: